Senin, 29 Juni 2009

Warisan Kemampuan Membuat Kerupuk Jangek

Yon Asri

PENSIUN dari sopir mobil di sebuah pe­rusahaan kayu, tidak membuat Yon Masri (56) berpangku tangan. Kemam­puan membuat kerupuk jangek yang didapat dari orangtuanya, menjadi mo­dal memulai usaha baru berskala ru­mah tangga. Terbukti, sejak dimulai ta­hun 2004 silam, usahanya telah dikenal banyak orang, bahkan merambah hing­ga ke luar provinsi.
“Tidak saja ke swalayan di Jambi, ke­rupuk jangek ini saya jual tidak luar provinsi, bahkan hingga Jakarta,” ujar Yon Nasri, saat Media Jambi berkun­jung ke tempat usahanya di Jalan Sari Bakti RT 09 Kelurahan Beliung Ke­ca­matan Kota Baru Jambi, Kamis (25/6) lalu.
Ketrampilan membuat kerupuk jangek, diperoleh langsung dari dari orang tuanya saat di Payakumbuh, Pro­vinsi Sumatera Barat. “Orangtua sa­ya kerjanya membuat berbagai ma­cam kerupuk termasuk kerupuk ja­ngek,” jelas Oyon. Sebelum berdikari, isterinya, Masriyati (53) juga sempat berjualan kerupuk jangek yang bahan mentahnya dibeli dari Payakumbuh
Menurut Oyon—begitu dia biasa dipanggil, pembuatan kerupuk jangek dimulai dari merebus kulit kerbau. Setelah itu baru di panggang di atas api kemudian di kikis agar bulu diatas kulit menjadi hilang. Setelah itu, kulit dipotong-potong dengan ukuran satu kali satu sentimeter. Setelah dipotong, kulit dijemur hingga kering dengan waktu satu hingga dua hari penje­mur­an. “Kalau cuaca bagus sehari sudah ke­ring,” ujar dia.
Saat diproses, kulit akan menyusut hingga 20 persen. Dalam satu bulan, ia mampu menghasilkan hingga 1.500 ki­lo­­gram kerupuk kulit. Kerupuk mentah dijualnya Rp 37.000 per kilogram, se­dangkan kerupuk yang sudah digo­reng dan dikemas dijual seharga Rp 6.000 per bungkus.
Kerupuk bermerek “Chaniago” ini, akan mudah dijumpai di pasar-pasar swalayan di Kota Jambi. Sebagian diantaranya dijual dalam keadaan setengah jadi agar awet disimpan. Sehingga pembeli cukup menggoreng ulang kerupuk sebelum dimakan.
Meski mampu berproduksi dalam jum­lah besar, ayah tiga anak ini me­ngaku tak bisa meraih keuntungan mak­simal. Pasalnya, hasil penjualan tak bisa diperoleh kontan. “Sedangkan pem­belian bahan baku harus dibayar tunai,” ujarnya. Dalam sehari, ia mam­pu memproses 3 keping kulit kerbau atau setara 150 kilogram kerupuk.
Saat ini, sudah banyak orang yang membuka usaha serupa, sehingga ke­beradaan bahan baku mulai terbatas. Kulit yang bagus dijadikan kerupuk adalah kulit kerbau dengan harga Rp 10.000 perkilogram. Kulit ini, dibeli oyon di Pasar Angso Duo.
Tinggi dan mahalnya harga minyak tanah juga masih menjadi kendala serius. “Untuk menggoreng kerupuk dihabiskan minyak tanah 100 liter per bulan dan 20 kilogram minyak sayur per hari,” ujar warga yang tinggal di Jalan Raden Wijaya No 187 RT 25 Kebun Kopi, Kelurahan Thehok, Jambi Selatan ini. Penggemar kerupuk kulit cukup banyak. Rasanya yang gurih dan renyah ini cocok dimakan dengan soto, baso, bubur ayam, dan berbagai jenis masakan lain. “Bahkan dimakan begitu sajapun enak juga,” ucapnya setengah berpromosi.(mas)

Pengusaha Ikan Hias

Datangkan Pasokan Ikan Luar Daerah

BERANGKAT dari banyaknya hobi kalangan tertentu memelihara ikan hias, membuat Ridwan (32) tergerak ter­jun dan menggeluti usaha pen­jualan ikan hias. Mulai kalangan anak- anak hingga orang tua, kini menjadi pelanggan usaha pemilik toko ber­nama Diva Aquarium ini.
Bukan tanpa hasil, saat ini Ridwan mengaku memperoleh omset penjual­an ikan rata-rata Rp 1,5 juta perbulan. Dengan keuntungan maksimal men­capai Rp 6 juta per bulan. ”Alham­dulillah, keuntungan dapat menutupi bia­ya operasi dan membayar gaji tiga karyawan,” ujar Ridwan yang ditemui Me­dia Jambi, Rabu (17/6) ditempat usahanya, Pasar TAC Kota Jambi.
Ayah dari Ririn, Zidan dan Ica ini mengaku, sudah lima tahun mengeluti usaha yang berhubungan dengan he­wan air jenis ikan hias. Sebagian besar ikan yang dijual didatangkan dari luar daerah.
”Biasanya ikan dikirim setiap ming­gu dari pulau Jawa, Padang dan Lu­buk Linggau Sumatera Selatan,” jelas Ridwan. Pembelian dilakukan dengan sistem partai 500 sampai 1.000 ekor de­ngan harga berkisar Rp 2 juta. Sedangkan bibit patin, diperolehnya dari petani lokal di Kota Jambi.
Harga yang ditawarkan cukup bervariasi antara Rp 5.000 hingga Rp 300 ribu, tergantung jenis dan ukuran ikan. Seperti ikan Mas Komet Rp 5.000 perekor, Koki Rp 5.000 perekor, Tempalo Rp 5.000 perekor, Ikan Buas (Kaligator Spatyla) Rp 150.000 perekor, Kura- kura Brazil Rp 20.000 perekor dan Koi Blitar antara Rp 10.000 hingga Rp 300.000 perekor.
Saat ini, ikan yang paling diminati yaitu jenis Tampalo dan Ikan Koi Blitar. ”Ikan Tampalo paling laris dibeli anak sekolah untuk diadu, sedangkan kalangan menengah keatas tengah gandrung jenis ikan koi blitar,” ujar­nya sambil menunjukan ikan koi ke­bangaannya itu.
Selain ikan hias, Ridwan juga menjual bibit ikan Patin, Gurami, Nila dan Lele dengan harga bervariasi. Na­mun demikian, ia kerap mengalami ke­rugian akibat pemadaman listrik PLN yang beberapa waktu terakhir sering terjadi.
“Jika lampu mati, oksigen tidak ber­fung­si sehingga sebagian ikan pasti mati,” ujarnya. Warga Perumahan Ga­ruda Lorong Betuah Rt 13 Nomor 09 Kelurahan Mayang Kecamatan Kota Ba­ru ini berharap, usaha yang dige­lutinya dapat berkembang dan se­makin besar. Disamping peminat ikan hias juga semakin hari semakin ber­tambah.(cr-yop)